MOS atau Ospek, Mengapa Banyak Yang Membencinya?
MOS atau Ospek, Mengapa Banyak Yang Membencinya?
Yang kamu anggap sebagai sampah
pendidikan itu bagian “kekerasan, perploncoan, dan pembullyan” bukan? Harap
dibaca utuh tulisan ini agar tidak terjadi salah paham.
Saya belajar di sebuah kampus
negeri yang konon Ospeknya diakui “cukup
keras dan tegas”. Istilah di kampus saya namanya Pengaderan. Sekali lagi,
apa yang saya ceritakan ini berlangsung dulu. Sebelum 2012. Sekarang sudah
banyak berubah karena banyak terjadi penyesuaian, terutama setelah CoVid19.
Membicarakan atau mempertanyakan
tentang Pengaderan merupakan hal yang
sakral bagi mahasiswa baru. Mempertanyakan atau membicarakannya, sama saja
seperti mempertanyakan kebijakan pemerintah saat jaman order baru. Sakral dan unreachable.
Jika rata-rata Ospek untuk
mahasiswa baru paling lama berlangsung selama satu pekan, maka Ospek di kampus
saya (jaman itu) paling cepat berlangsung selama enam bulan. Paling cepat. Satu
pekan kegiatan resmi, enam bulan follow
up-nya. Meskipun pihak kampus secara terang-terangan sudah melarang pengaderan yang keras, namun budaya itu
telah mengakar.
Hanya saja, jurusan saya pengaderannya berlangsung selama satu
tahun. Saya yang dibesarkan dengan nilai-nilai lemah lembut saat berbicara,
kaget dan syok.
Ada beberapa hal yang membuat
saya tidak nyaman terhadap apa yang dilakukan oleh para senior pada kami,
seperti:
1. Merokok di depan wajah dan
asapnya ditiupkan ke wajah.
2. Misuh dengan posisi mulut di depan wajah, dengan jarak 10 cm. Saya
ingin muntah rasanya, bau mulutnya menguar menganggu syaraf penciuman saya.
Dalam hati saya meronta, “Ambune ababmu
biiiiadeg tenan, Mas. (Bau mulutmu nggak
enak banget, Mas).”
3. Disuruh menyanyikan lagu “Bintang Kecil” dengan huruf vokal diganti
huruf O. Bayangin ya, cowok
menyanyikan lagu itu di kantin yang dilalui banyak mahasiswa dan mahasiswi.
Malunya nggak ketulungan.
4. Saat masa orientasi resmi, ada
sebagian teman seangkatan kami yang keningnya ditulis dengan spidol. Pentol, bingung, gundul, itu isi
tulisannya.
5. Pulang malam bahkan pernah
hingga jam dua dini hari untuk disidang para senior. Ini hampir setiap hari.
6. Gundul plontos.
7. Bentakan adalah hal yang
biasa.
8. Dll, masih banyak lagi.
Ini masih mending kalau jurusan
saya. Jurusan lain malah ada yang
lebih keras, bahkan sampe tawuran
antar angkatan. Satu hal yang membuat saya menjadi maklum adalah “Oke, ini kampus teknik”.
Efek Negatif
Efek negatif dari yang kami
terima tentu banyak, seperti:
1. Banyak teman seangkatan yang
stress. Ketakutan nanti dan besok akan terjadi apa selalu menghantui kebanyakan
dari kami.
2. Banyak yang pindah kuliah
(baik jurusan maupun kampus) karena tidak kuat dengan kaderisasinya. Ada yang
putus kuliah, ada yang kerja, ada yang menghilang tanpa kabar, dan ada yang
pindah ke kampus lain (UGM, STAN, dll).
Saya sendiri hampir menyerah dan
mengatakan pada ibu saya untuk pindah kuliah saja. Rasanya benar-benar ingin
menyerah.
3. Masjid dan perpustakaan adalah
surga bagi para mahasiswa baru untuk melarikan diri.
4. Akademik terganggu, terlebih
tahun pertama adalah tahun adaptasi.
5. Kadang sering mengigau saat
tidur. Mengigau dibentak.
6. Kesehatan fisik terganggu
karena sering pulang malam dan kegiatan tambahan.
7. Memiliki stigma buruk terhadap
kakak tingkat.
8. Mengenai hubungan dengan keluarga
ada yang terganggu keharmonisannya. Cemberut saat pulang ke rumah.
8. Dll
Efek Positif
Namun di sisi lain, secara sadar
ataupun tidak, ada banyak efek positifnya juga buat saya secara pribadi. Misalnya:
1. Muncul jiwa pemberani untuk berontak
terhadap kedzaliman.
2. Berani mengutarakan pendapat
dan beradu argumen.
3. Menganggap teman sebagai harta
berharga kami, satu angkatan benar-benar solid saat itu. Kesusahan teman
benar-benar ditanggung bersama, meski tidak sempurna. Patungan dana kuliah, berbagi
makan, antar jemput buat yang mempunyai motor, saling mengajari mata kuliah,
dll.
Kami bahkan rela dihukum untuk
menggantikan teman kami yang sudah tidak kuat lagi menerima hukuman. Kepedulian
terhadap orang lain meningkat.
4. Lebih berani mempresentasikan ide
secara terstuktur. Saya beberapa kali ditunjuk menjadi koordinator sie acara
dan mempresentasikannya di depan senior-senior yang memberikan pertanyaan tajam
yang kritis. Ini sangat mengasah kemampuan berfikir tajam dan kemampuan beradu
argumen.
5. Tanggung jawab tumbuh
meningkat pesat karena setiap yang kami lakukan (Berkaitan dengan kekompoakan
angkatan) akan dimintai pertanggungjawaban oleh senior. Kami akan diinterogasi
secara tajam, kritis, menusuk, dan terkesan mengintimidasi.
6. Wawasan bertambah luas dan
pergaulan lebih oke karena sudah ditempa.
7. Dll
Sekarang, setelah lama mengarungi
kehidupan dunia paska kampus, saya menyadari bahwa ada banyak kemajuan yang
saya alami setelah mengalami pengaderan. Hanya saja, saya sendiri meyakini ada
cara lain yang seharusnya bisa disesuaikan agar tidak lagi menjadikan mahasiswa
baru sebagai objek yang bisa ditekan dan ditindas.
Sejarah Singkat
Cerita dari senior saya yang
menjadi aktivis tersohor di kampus, ospek yang dikonsep “keras” tersebut
sesungguhnya dulunya dilakuka karena para mahasiswa dtuntut untuk berani
menyuarakan isi pikirannya di jaman orde baru. Cerita ini tidak sekuat karya
ilmiah, namun bisa menjadi referensi tambahan saja.
Di jaman itu, tutur senior saya
saat itu, yang dihadapi mahasiswa di depan gerbang kampus adalah tank dan
senapan para aparat. Para aparat tersebut mengawasi mahasiswa saat aturan
Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) dan Badan Kordinasi Kemahasiswaan (NKK-BKK) diberlakukan.
Waktu itu, mahasiswa diarang ikut
bersuara dalam politik negeri agar tidak mengganggu jalannya pemerintahan.
Kalau tidak dididik dengan “keras”, bagaimana mungkin mahasiswa bisa memberikan
perlawanan? Agar tidak menjadi mahasiswa cengeng, perlu dilatih dengan cara
yang tegas dan keras. Begitu alur ceritanya.
Saatnya Merubah Konsep
Hanya saja, seringkali ospek jadi
ajang para senior untuk tebar pesona atau ajang balas dendam. Dan ini fakta.
Perhatikan saat ospek akan ada banyak senior yang ingin dihormati, dipuja, dan
menjadi pusat perhatian. Jangan di ospek, di lingkungan kerja pun banyak yang
begitu. Jadi ini masalah metal para senior yang memberikan fasilitas ospek.
Ada banyak cara yang bisa
dilakukan agar ospek atau pengaderan menjadi sebuah program yang tidak hanya
menghadirkan rasa takut sehingga menjadi ancaman. Para senior juga seharusnya sudah
bisa membuat konsep yang mampu menghadirkan perasaan optimis, merasa berguna,
mandiri, kuat, tangguh, dan bertanggung jawab.
Banyak mahasiswa dan orang tua
yang membenci ospek, mungkin karena ada banyaknya berita mengenai penganiayaan,
pembully-an, hingga pelecehan saat proses ospek. Ya nggak salah juga. Orang tua mana sih yang mau anaknya dianiaya? Tidak ada.
Yang terpenting dari adanya ospek
itu kan bertambahnya kebaikan dan berkurangnya keburukan pada mahasiswa yang
di-ospek. Kalau saat menjalani masa ospek, justru bertambah keburukan dan
berkurangnya kebaikan, ya lebih baik nggak
usah ada ospek. Kesehatan fisik dan
mental perlu dijaga.
Tapi, saya lebih setuju ospek
tetap ada. Bukan berarti Ospek itu sampah pendidikan. Manfaatnya banyak banget.
Lakukanlah dengan cara yang lebih baik, bukan anarki. Namun jangan juga dilakukan dengan konsep seminar yang peserta tingga duduk manis saja. Adakan forum untuk pemberian materi, adu argumen, pengutaraan gagasan, terjun ke lapangan, kewaspadaan, dan menebar manfaat kepada orang lain.
Komentar
Posting Komentar